KP2KKN JAWA TENGAH

DEMI ANAK CUCU BERANTAS KORUPSI SEKARANG JUGA

Penjarakan Aktivis, Wali Kota Tegal Dikecam

KORAN TEMPO – Sabtu, 11 Oktober 2014

TEGAL – Jalur hukum yang ditempuh Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno untuk meredam kritik di media sosial menuai kecaman dari kalangan aktivis dan akademikus. “Jawablah kritik dengan kinerja yang baik, bukan dengan melapor ke polisi,” kata Direktur Komite Penyelidikan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, Eko Haryanto, kemarin.

Kamis lalu, dua aktivis Kota Tegal, Agus Slamet dan Komar Raenudin, ditangkap Unit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Agus adalah Koordinator LSM Humanis. Sedangkan Komar merupakan Koordinator LSM Aliansi Masyarakat untuk Keadilan (AMUK).

Menurut Eko, Siti mesti belajar kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. “Ganjar itu di-bully terus. Tapi dia paham, menjadi pemimpin tidak akan pernah lepas dari kritik,” ujarnya.

Keduanya diduga mencemarkan nama baik Siti di Facebook. Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah, Ajun Komisaris Besar Liliek Darmanto, mengatakan Siti melapor ke Kepolisian Resor Tegal Kota pada 2 September. “Laporan itu dilimpahkan ke Polda karena masuk ranah Dit Reskrimsus,” kata Liliek saat dihubungi Tempo.

Namun Liliek belum tahu kalimat apa yang ditulis kedua aktivis itu sehingga diduga melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Selain karena ada laporan, polisi berani menahan karena sudah ada bukti,” ujarnya.

Di Facebook, Agus pernah menulis status: “Saran go (untuk) wali kota boneka, sekiranya Anda gak mampu memimpin lebih baik mundur, lebih terhormat daripada di-lorod (diturunkan)”. Status yang disertai dengan foto Siti itu diunggah pada 1 September lalu, sehari sebelum Siti melapor ke Polres Tegal Kota.

Sejak dilantik pada 23 Maret lalu, Siti sering menuai kritik. Pertama, wali kota asal Jagakarsa, Jakarta Selatan, itu dianggap sebagai turis karena menginap di hotel berbintang tiga selama rumah dinasnya direnovasi. Siti, yang sejak kecil mengenyam pendidikan di luar negeri, juga pernah dikritik karena dituding hendak mengubah tradisi penggunaan bahasa Jawa dialek Tegal dalam upacara hari jadi Kota Tegal menjadi bahasa Indonesia.

Saat dimintai konfirmasi, Siti mengaku tidak pernah melaporkan Agus dan Udin ke kepolisian. “Silakan ditanyakan ke Polres,” kata Siti melalui pesan Blackberry Messenger. DINDA LEO LISTY

Sumber : http://koran.tempo.co/konten/2014/10/11/354108/Penjarakan-Aktivis-Wali-Kota-Tegal-Dikecam

10 Oktober 2014 Posted by | ARTIKEL, KP2KKN DALAM BERITA, TEGAL | Tinggalkan komentar

Mafia Peradilan : Budaya Atau Dosa ?

Oleh : Beni Prawira Candra Jaya

Indonesia merupakan Negara hukum dimana semua kegiatan penyelenggaraan Negara didasarkan atas asas yuridis . Hal ini sesuai dengan 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Berdasarkan isi pasal tersebut, maka jelaslah bahwa semua kegiatan penyelenggaraan Negara tidak akan terlepas dari peraturan perundang-undangan termasuk dalam kegiatan penyelenggaraan peradilan.

Peradilan sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu mengenai perkara pengadilan yang bersifat kebangsaan atau segala sesuatu mengenai perkara pengadilan yang meliputi suatu bangsa, dalam hal ini adalah bangsa Indonesia.

Dalam perkembangannya, hukum tidak lagi menjadi dasar dalam mengakkan keadilan dan ketertiban umum, hal ini terbukti dari banyaknya kasus yang dijadikan sebagai “proyek” oleh penegak hukum itu sendiri. penegak hukum yang melakukan kegiatan tersebut dapat dikatakan sebagai mafia peradilan.

Mafia peradilan sendiri dapat diartikan sebagai “Perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu ( aparat penegak hukum dan pencari keadilan ) untuk memenangkan kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga menyebabkan rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan “(Definisi KP2KKN, 2006 , dalam pelatihan Anti Mafia Peradilan).

Selain itu, Penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2002 juga menyebutkan bahwa mafia peradilan di Mahkamah Agung (MA) melibatkan para pegawai, pejabat, panitera, dan para hakim. Praktik mafia itu dilakukan dengan cara; pemerasan, penyuapan, pengaturan majelis hakim favourable, calo perkara, pengaburan perkara, pemalsuan vonis, pemberian ’surat sakti’, atau vonis yang tidak bisa dieksekusi.

Kemudian Ketua Komisi Yudisial (KY), M Busyro Muqoddas, mengatakan, cengkeraman mafia peradilan di Indonesia sudah sangat kuat. Bahkan, indikasinya kekuatan mafia itu sudah memasuki semua elemen penegakan hukum.

”Bila dilihat dari sejarahnya, mafia peradilan itu mulai menggeliat semenjak munculnya Orde Baru. Saat itu, lembaga hukum berada di dalam hegemoni kekuasaan. Sementara di sisi lain, kekuatan masyarakat sipil tak berdaya sama sekali.

Ironis, realita yang terjadi dalam paraktek peradilan seakan telah membudaya akibat terlalu banyaknya oknum – oknum penegak hukum yang mencari keuntungan didalam setiap permasalahan hukum yang terjadi.

Realita tersebut membuat kepercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum menjadi luntur. Fakta – fakta tersebut mengakibatkan hilangnya harapan masyarakat akan adanya kepastian hukum dalam setiap permasalahan hukum.

Namun bukan berarti kondisi ini sebagai suatu indikasi kehancuran supremasi hukum. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan mulai dari diri sendiri dan mulai dari sekarang. Mulailah menjadi hakim, jaksa, dan pengacara bagi diri sendiri, mulailah dengan melakukan tindakan Self Concept yaitu mengatur diri sendiri dengan memberikan keyakinan bahwa setiap tindakan melawan hukum adalah perbuatan yang tidak dibenarkan. Setelah kita terbiasa dengan melakukan Self Concept, dengan sendirinya kita akan mampu melakukan Self Control sehingga kita mampu mengontrol diri sendiri untuk terus melakukan tindakan yang dibenarkan menurut hukum. Tindakan – tindakan tersebut jika dilakukan secara terus menerus, akan memungkinkan timbulnya efek Social Control dimana masyarakat yang tinggal dan hidup disekitar kita akan mengikuti dan terus menyebar ke masyarakat yang lain.

Sumber : http://www.hukumpedia.com/beniprawira/mafia-peradilan-budaya-atau-dosa

3 Oktober 2014 Posted by | ARTIKEL | Tinggalkan komentar

Di Tengah Keminiman Teladan

SUARA MERDEKA – Senin, 25 Agustus 2014

TAJUK RENCANA

Mari memaknai kegencaran pembudayaan sikap antikorupsi sebagai ikhtiar untuk membangun atmosfer pencegahan. Kita garisbawahi pernyataan Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti MHum, Kepala Pusat Kurikulum dan Inovasi Pendidikan Universitas Negeri Semarang dalam Sosialisasi Pendidikan Antikorupsi yang digelar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di Semarang, belum lama ini. Menurutnya, sekarang ini contoh keteladanan semakin minim.          

Model pembelajaran kontekstual dalam Kurikulum 2013 menekankan contoh-contoh keteladanan yang harus disampaikan. Namun dalam realitas penjabaran nilai-nilai antikorupsi yang terkait dengan pendidikan karakter, contoh pemimpin dan tokoh yang layak diteladani di berbagai bidang dan level kini semakin terbatas. Dalam kondisi demikian, guru tentu harus menjelaskan secara sebaliknya tentang kepemimpinan dan ketokohan yang tidak patut dijadikan contoh.

Kita sependapat, guru makin kreatif dalam menginovasi metode pembelajaran antikorupsi. Berbagai best practise diketengahkan untuk mengajak, mengarahkan, dan menginternalisasikan nilai-nilai. Karakter siswa dibentuk, misalnya melalui evaluasi tentang bagaimana menepati waktu, jujur, santun, jangan membiasakan memberi hadiah kepada guru, dan sebagainya. Rasa tanggung jawab ditanamkan untuk membawa siswa punya arah dalam bersikap dan bertindak.

Pembentukan karakter lewat penanaman nilai-nilai antikorupsi perlu terus dikampanyekan di tengah keminiman contoh keteladanan dan perilaku yang tidak patut jadi panutan. Betapa berat tanggung jawab guru, apalagi ini menjadi bagian dari substansi pendidikan kontekstual dalam Kurikulum 2013. Sesungguhnyalah sosialisasi dan internalisasi itu menjadi tantangan terberat, justru di tengah kesengkarutan kehidupan penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

Komitmen dan kreativitas pembelajaran di sekolah menjadi bagian dari “pengepungan” untuk melawan darurat korupsi. Bukankah hampir tak ada celah yang tidak terjangkiti? Sekecil apa pun, budaya menyelewengkan kewenangan dalam kekuasaan membutuhkan dekonstruksi dengan mindset yang sama, sehingga segi-segi penguatan karakter lewat dunia pendidikan menjadi pendorong preventif yang menopang atmosfer penciptaan efek jera dari sikap kuratif penegakan hukum.

Revolusi mental yang digaungkan oleh presiden terpilih Joko Widodo menjadi fondasi sosialisasi dan arah pendidikan karakter, sehingga bersifat jangka panjang. Inilah transformasi nilai, dengan orientasi membangun pikiran dan sikap antikorupsi. Misalnya malu untuk terlibat dan apalagi melakukan, takut risiko hukum dan sosialnya, melawan karena sadar korupsi merusak kehidupan bangsa. Sikap-sikap itulah yang antara lain dita­namkan sejak usia dini.

Sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/08/25/271298/Di-Tengah-Keminiman-Teladan

26 Agustus 2014 Posted by | ARTIKEL | Tinggalkan komentar

Taji Polisi Lembaga Keuangan

SUARA MERDEKA – Senin, 25 Agustus 2014

Oleh : W Riawan Tjandra

“Kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas merupakan komponen utama good governance”

OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) kini makin menunjukkan taji. Mereka memulai dari menata sistem penawaran jasa finansial lewat telepon sampai memproteksi nasabah jasa asuransi dengan cukup efektif, dalam usianya yang masih muda. Latar belakang kelahiran ’’polisi’’ lembaga keuangan bank dan nonbank itu tak bisa dilepaskan dari krisis finansial yang berulang melanda sektor jasa keuangan negeri ini. Hampir selalu pada masa pergelaran politik, ada bank mengalami krisis.

Kasus Bank Century merupakan salah satu contoh bank gagal yang terjadi pada masa pergelaran politik. Sebelumnya terjadi kasus BLBI, dan nyaris kembali terjadi hal serupa sewaktu muncul wacana akuisisi BTN. Kehadiran OJK, yang menggantikan peran BI, dalam sistem tata kelola keuangan di Indonesia (finance governance) memberikan harapan positif terhadap upaya penguatan sektor jasa keuangan

Kehadirannya bahkan bisa memenuhi fungsi mewujudkan stabilitas ekonomi sebagaimana diatur Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, regulasi yang berlaku mulai 1 Januari 2013. Lembaga keuangan nonbank yang diawasi oleh OJK adalah asuransi, dana pensiun, bursa efek/pasar modal, modal ventura, perusahaan anjak piutang, reksadana, serta perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi.

Krisis keuangan di Asia merupakan implikasi kelemahan kualitas sistem keuangan di benua itu. Pada Juli 1997, Indonesia mulai terkena dampaknya karena struktur ekonomi nasional masih lemah untuk menghadapi krisis global. Kurs rupiah terhadap dolar AS melemah pada 1 Agustus 1997 yang diikuti penutupan 16 bank bermasalah oleh pemerintah pada November 1997.

Kemudian, pemerintah dan BI membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) guna mengawasi 40 bank bermasalah lainnya. Selain itu, mengeluarkan beleid Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk membantu beberapa bank bermasalah. Namun kebijakan itu tidak berjalan efektif karena dana bantuan disalahgunakan oleh sejumlah pihak.

Hal itu memperburuk citra perbankan dan sistem pengawasan perbankan yang waktu itu dilakukan BI. Krisis ekonomi 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah membenahi sektor perbankan dalam rangka stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis.

Namun tahun 2008, kasus serupa kembali terjadi pada Century, hasil merger antara Bank CIC, Pikko, dan Danpac. Sebagai pengawas bank, BI mengizinkan merger tersebut meskipun terdapat pelanggaran administratif. Beberapa kasus tersebut memberikan sinyal bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan BI masih memiliki sejumlah kelemahan. Hal itulah yang mendorong pemerintah membentuk OJK, institusi independen yang diberi atribusi wewenang mengawasi sektor jasa keuangan bank dan nonbank.

Meskipun latar belakang pembentukannya tak selalu sama, cukup banyak negara membentuk institusi semacam OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan secara terpadu. Memang ada beberapa faktor yang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan.

Konglomerasi Keuangan

Pertama;  kemunculan konglomerasi keuangan dan awal penerapan universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi kesenjangan antara regulasi dan supervisi. Kedua; stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas yang awalnya belum memperhatikan stabilitas sistem keuangan, dan mereka mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan.

Ketiga; kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Dalam konteks untuk mengakselerasi keterwujudannya pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara merevisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya.

Adapun kewenangan yang diatribusikan kepada OJK sebagaimana terdapat pada Pasal 7, 8 dan 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 merupakan derivasi dari Pasal 34 Ayat (1) UU BI Nomor 3 Tahun 2004 yang mengatur bahwa tugas mengawasi bank dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk berdasarkan undang-undang.

Dengan demikian, dalam isu konstitusional, karakter constitutionally important dari UU OJK dapat ditelusuri melalui Pasal 34 UU BI yang bersumber dari Pasal 23D UUD 1945. Pasal itu mengamanatkan bahwa negara harus memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya, diatur oleh undang-undang.

Bahkan secara sistematis, dapat pula menelusuri landasan konstitusionalnya dalam Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Atribusi kewenangan dalam UU tentang OJK dan pengaturan mengenai institusionalnya, merupakan manifestasi dari jiwa konstitusi. Terutama dengan memahami dialektika Pasal 23D dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Kehadiran lembaga itu diharapkan bisa memberikan terapi terhadap penyakit kronis sistem keuangan di negeri ini. Lebih jauh, supaya sektor jasa keuangan terhindar dari moral hazard dan salah urus sebagaimana berulang kali  terjadi. (10)

— Dr W Riawan Tjandra SH MHum, dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/08/25/271300/Taji-Polisi-Lembaga-Keuangan

26 Agustus 2014 Posted by | ARTIKEL | Tinggalkan komentar

Tebaran Jala Korupsi Nazaruddin

SUARA MERDEKA – Kamis, 21 Agustus 2014

TAJUK RENCANA

Korupsi M Nazaruddin bagai gurita yang menebarkan jala untuk “menjaring” kakap-kakap. Pengibaratan ini kita ketengahkan ketika dalam rang­kaian persidangan skandal mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, saksi Yulianis menyebut sejumlah orang penting. Nama Marzuki Alie, Ketua DPR dari Partai Demokrat dan Fahri Hamzah, petinggi Partai Keadilan Sejahtera diung­kapkan sebagai bagian dari penerima aliran uang Nazaruddin.

Marzuki dan Fahri langsung me­nyanggah. Fakta persidanganlah yang akan membuktikan apakah Yulianis memang punya data kuat, atau kedua elite Senayan tersebut punya alibi sahih untuk menggugurkan tudingan. Yang jelas, inilah untuk kali kesekian seorang Naza­ruddin menyeret tokoh penting da­lam pu­saran perkaranya setelah Anas, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, dan anggota DPR Angelina Patricia Sondakh.

Pola korupsi Nazaruddin melibatkan orang-orang penting, memberi kesan ia ingin membangun bari­kade politik yang kuat. Juga posisi ta­war ketika ia bisa mengatur banyak to­koh, memainkannya untuk dijadi­kan bumper kalau sewaktu-waktu menghadapi proses hukum seperti sekarang. Efektif atau tidak pola tersebut, Nazar melakukan sekaligus menunjukkan betapa korupsi telah membentuk gurita yang membelit elite kekuasaan.

Gurita itu membentuk lingkaran permainan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Juga menciptakan kengerian betapa korupsi telah mempola seperti itu, walaupun banyak skandal yang sebenarnya juga menampilkan wajah serupa. Kalau kesaksian yang berkembang dalam kasus Nazar itu terbukti benar, kita sekali lagi disuguhi oleh realitas pembodohan rakyat lewat sekelompok elite yang dengan semaunya sendiri mengutak-atik anggaran negara.

Kita terkadang hanya bisa mengurut dada melihat perilaku elite, misalnya yang dengan penuh semangat membangun opini pemojokan terhadap Komisi Pemberantasan Klorupsi (KPK). Baik dari kacamata legal-formal yang normatif, maupun dengan pendekatan-pendekatan politis. Rakyat tahu belaka, apa pun justifikasinya, ada nuansa pembodohan seolah-olah steering opini itu disampaikan secara murni padahal membawa pesan kepentingan tertentu.

Maka ketika sejumlah nama disebut dalam persidangan, bantahan disampaikan, dan reaksi publik berkembang, hakikatnya itulah bagian dari peta persoalan korupsi di Indo­ne­sia. Di balik kampanye perang melawan kejahatan luar biasa itu, kekuat­an-kekuatan yang secara sistematis berusaha melemahkan terus bergerak. Kita hanya bisa menunggu setiap perkembangan. Dan, bagi yang ber­akal sehat, semua menjadi pendidikan karakter yang luar biasa.

Sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/08/21/270909/Tebaran-Jala-Korupsi-Nazaruddin

26 Agustus 2014 Posted by | ARTIKEL | Tinggalkan komentar

Mengapa (Masih) Pungli?

SUARA MERDEKA – Sabtu, 23 Agustus 2014

Oleh : Herie Purwanto

JUDUL berita utama Suara Mer­deka, edisi Senin, 18 Agustus 2014 ’’Pol­da Ancam Polisi Pungli.” Diberitakan, Polda Jateng mengeluarkan ultimatum kepada jajaran Satuan Lalu Lintas di wilayah kerjanya supaya tidak lagi melakukan praktik pungutan liar (pungli) di jalan atau­pun di tempat-tempat pelayanan ke­pada masyarakat.

Berita utama tersebut tentunya terkait dengan rangkaian kejadian pungli yang dilakukan oleh segelintir polisi sebelumnya, yaitu pungli di jembatan Comal Kabupaten Pemalang dan diperhangat oleh pungli di Pos Polisi Kalibanteng Semarang. Keterungkapan dua praktik tercela berkat operasi tangkap tangan alias menangkap basah para pelaku.

Pungli sepertinya tengah menjadi bidikan utama Kapolda Jateng, Irjen Pol Drs Nur Ali. Sejak menjabat Kapolda Jateng, pada awal kepemimpinannya, sewaktu rapat dinas atau berkunjung kedinasan ke jajarannya, salah satu hal yang selalu diingatkan kepada anggotanya adalah agar ia di­doa­kan menjadikan pimpinan yang baik, pemimpin yang ama­nah. Adakah keterkaitan an­tara penanganan kasus pung­li oleh Bidang Propam Polda dengan harapan Kapolda?

Dalam konsep religi, menjadi pe­mimpin yang baik dan amanah membawa konsekuensi bahwa apa yang menjadi kebijakannya senantiasa on the track atau berada dalam bingkai rule of law. Adapun pungli atau praktik tak terpuji lainnya, jelas-jelas berada di luar ranah tersebut. Jadi sangat logis, bila masalah pungli ini tidak bisa terlepas dari kebijakan Kapolda yang harus dilaksanakan oleh semua jajarannya.

Sepertinya bukan rahasia lagi, masalah pungli di jalan raya ataupun di tempat-tempat pelayanan kepada masyarakat, masih ada dan masih dirasakan oleh publik. Apa yang muncul yang diawali dari jembatan Comal kemudian berlanjut di Pos Kalibanteng, menjadi fenomena yang bisa digambarkan seperti gunung es. Yang tampak ke permukaan merupakan kerucut kecil, dan bagian yang tidak terlihat justru lebih besar.

Inikah potret dari pungli tersebut? Bukti bahwa masyarakat sangat antusias dan berharap Kapolda Jateng lebih intens lagi memberantas pungli tampak dari SMS warga yang dimuat di kolom ’’Kepriben’’, pada Suara Merdeka edisi komunitas, edisi Senin, 18 Agustus 2014. Bahkan dalam kolom tersebut, ada tiga ungkapan perasaan warga yang ditujukan kepada Kapolda Jateng, yang intinya mengucapkan terima kasih atas tertangkapnya oknum pelaku pungli.

Realitas itu juga memberi pe­san, masyarakat sa­ngat mengharapkan polisi di Jateng benar-benar menjadi pengayom, pelindung, dan pelayan mereka. Bukan sebagai pemeras di jalan atau di tempat-tempat layanan kepolisian. Praktik tidak terpuji tentu sangat berlawanan dari semangat terciptanya clean government. Pelayanan prima didengang-dengungkan, dengan harapan layanan kepolisian akan menyentuh substansi sebagai pelayanan publik atau public service.

Tetap ’’Menguntungkan’’

Mengutip sejumlah uang di luar ketentuan dan masuk ke kantong pribadi, merupakan unsur pokok adanya pungli. Ironisnya, meski terbebani, masyarakat menganggap hal itu tetap ’’menguntungkan’’ ketimbang ia harus menjalani apa yang menjadi ketentuan. Misalnya, minta dispensasi melewati jalan yang bukan peruntukannya, menempati areal parkir yang tidak semestinya, sebab bila harus bongkar muat tidak di tempat tersebut, ia harus menanggung biaya lebih tinggi.

Ataupun dengan memberikan sejumlah uang, ia akan memperoleh kemudahan dan percepatan pengurusan surat-surat tertentu. Jadi, meski sebenarnya tahu apa yang dilakukan masuk dalam ranah pungli, masyarakat diam dan tidak menggubris. Kondisi seperti ini, terus terjadi dan kedua pihak seperti berada dalam sebuah pusaran aktivitas timbal-balik, simbiosis mutualisme yang keliru.

Mindset petugas yang nakal pun lama-lama terbentuk dan menganggap apa yang dilakukan sebagai kebiasaan dan tidak perlu dirisaukan. Inilah yang diingatkan para pakar bahwa upaya pemberantasan korupsi, harus masuk ke dalam ranah atau tataran filosofis pelaksana di la­pangan. Jangan sampai semangat memberangus pungli, muncul dan bergelora pada tataran teoretis dan konseptual belaka.

Bukan hanya terhadap polisi, masyarakat tentunya juga berharap layanan publik lain juga terbebas dari pungli, sebagaimana digelorakan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang rajin sidak ke berbagai layanan publik untuk menindaklanjuti laporan masyarakat tentang dugaan pungli.

Selayaknya, kita dukung, dan tentu seluruh komponen masyarakat harus berani berkata tidak andai ada petugas layanan meminta uang di luar ketentuan. Baliho, spanduk atau banner di setiap sudut kantor pelayanan masyarakat, mengajak kita untuk tidak terlibat melakukan pungli. Mari kita buktikan, supaya tidak hanya terpampang untuk sekadar dibaca. (10)

          
— Herie Purwanto, Kasat Binmas Polres Pekalongan Kota, aktif dalam kajian masalah hukum

Sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/08/23/271175/Mengapa-Masih-Pungli

26 Agustus 2014 Posted by | ARTIKEL | Tinggalkan komentar

Memutus Rantai Pungli di Polri

SUARA MERDEKA – Selasa, 26 Agustus 2014

Oleh : Andy Suryadi

“Menjadi rahasia umum unit Lalu Lintas bersama Samsat dan Reskrim jadi sumber penghasilan tak resmi”

SEWAKTU pemerintah mengeluarkan beleid memberikan remunerasi untuk Polri mulai 2010 muncul pertanyaan besar, apakah tambahan penghasilan itu bisa menghentikan budaya korup di korps Bhayangkara? Pengamat kepolisian dari UI, Bambang Widodo Umar dan pengamat hukum dari UGM, Zainal Arifin Mochtar berkeyakinan remunerasi tidak akan mampu menghilangkan budaya pungli sepanjang tidak ada peningkatan kebijakan dalam pengawasan (Vivanews, 18/12/10). Kini, keyakinan mereka tampaknya benar-benar terbukti. Kita bisa merangkaikan dari pengungkapan kasus pungli di jembatan Comal Pemalang, disusul keterungkapan suap miliaran rupiah terkait judi online di Bandung, pungli di pos polisi Kalibanteng Semarang (SM, 16/8/14), hingga yang terkini, Selasa (19/8) Propam Polda Jateng mengungkap kasus serupa di sekitar Pasar Kambing Semarang. Sesungguhnya, langkah cepat jajaran Propam Polri mengungkap kasus pungli dan suap anggotanya layak diapresiasi. Namun publik masih pesimistis apakah serangkaian tindakan tersebut benar-benar bisa menjamin terhapusnya terbiasanya praktik pungli dan suap di jajaran Tri Brata? Ada dua hal yang mendasari pesimisme masyarakat, yakni pertama; biasanya tindakan penertiban itu hanya berjalan atau berlaku insidental, dalam arti itu dilakukan ketika sedang menjadi sorotan media massa alias hangathangat tahi ayam. Kedua; pengungkapan perbuatan tercela itu tidak selalu diikuti dengan penerapan sanksi tegas yang dapat menjerakan. Sesungguhnya praktik pungli dan suap sudah menjadi kultur khas birokrasi di negara kita, tak hanya di lingkungan Polri. Dulu isu keminiman kesejahteraan personel polisi kerap menjadi kambing hitam untuk berbuat menyimpang. Namun setelah pemerintah memberikan remunerasi mulai 2010 pun, Polri belum juga terbebas dari belenggu pungli dan suap.

Ada beberapa penyebab sulitnya memberantas praktik pungli dan suap di Polri. Pertama; keminiman pengawasan internal sehingga sejumlah anggota di lapangan mencobacoba menyiasati peraturan. Kedua; sanksi tidak tegas, bahkan acap berkesan melindungi pelaku. Berkait kasus Comal misalnya, pelaku hanya dikenai sanksi etik. Ketiga; ”kultur” suap dalam pengurusan posisi/jabatan basah di Polri sehingga anggota yang ingin menduduki jabatan tertentu harus pandaipandai mencari ”sumber penghasilan lain” untuk memenuhinya. (Tempo, 1/6/13). Keempat; sudah menjadi rahasia umum bahwa unit Lalu Lintas bersama Samsat dan Reskrim sering menjadi sumber penghasilan tak resmi guna membiayai operasional. Kelima; kultur menjamu atau melayani secara berlebihan oleh pejabat Polri di suatu wilayah terhadap atasan/ koleganya ketika mereka berkunjung. Seringkali ”tugas” itu dibebankan kepada institusi secara tak resmi itu yang berimbas sebagai beban anggota di lapangan. Para atasan, baik yang memberi atau menerima jamuan, bukannya tidak tahu namun mereka seperti membiarkan, bahkan cenderung menikmati kultur yang sudah berlangsung secara turun-temurun tersebut. Keenam; kesadaran hukum masyarakat yang masih sangat rendah sehingga kerap memilih jalan pintas, antara lain dengan menyuap, semisal supaya dipermudah urusannya kendati ia tahu bahwa hal itu tak sesuai prosedur atau melanggar aturan. Sanksi Menjerakan Lantas, bagaimana cara mengakhiri budaya pungli? Kita harus optimistis, minimal berharap praktik itu diminimalisasi, dan itu bisa ditempuh melalui beberapa cara. Pertama; pimpinan Polri harus memiliki komitmen dan keberanian memperbaiki situasi itu dengan pendekatan sistemik, misalnya pengawasan dan jerat sanksi yang benar-benar menjerakan. Upaya itu juga dibarengi pendekatan kultural, dimulai dari diri sendiri Misalnya, tegas menolak suap atau jamuan/servis secara berlebihan yang secara logika mustahil ditanggung oleh lembaga dalam kondisi normal. Kedua; mengubah pembayaran denda pelanggaran lalu lintas dengan cara yang lebih mempermudah pelanggar, misal sistem pembayaran denda elektronik (E-denda). Terobosan ini perlu dilakukan mengingat pelanggar umumnya lebih memilih menyuap, bukan karena besarnya denda resmi melainkan dianggap lebih ”merepotkan” andai harus menjalani sidang. Ketiga; menerapkan reward and punishment secara tegas dan transparan sehingga masyarakat juga tahu dan bisa ikut mengawal. Keempat; masyarakat dan media lebih aktif lagi mengawal kinerja polisi. Contoh, keterungkapan praktik pungli di Comal diawali dari laporan anggota masyarakat kepada Gubernur Ganjar Pranowo via Twitter yang kemudian diteruskan ke Polda Jateng. Selain itu, sanksi-sanksi yang bersifat sosial dari masyarakat, tampaknya juga perlu dicoba sebagai salah satu resep meminimalisasi budaya pungli. Contoh kecil misalnya, mengganti istilah pungli yang berkesan ”ringan” dengan frasa ”korupsi” mengingat pada hakikatnya pungli juga termasuk kategori itu.

Publik berhak berharap bahwa pengungkapan kasus pungli dan suap oleh Propam Polda Jateng benar-benar bisa menjadi momentum perbaikan di tubuh Polri, minimal di Polda Jateng. Jangan hangathangat tahi ayam, dan jangan ”mengintimidasi” dan terlalu cepat memutasi pejabat yang sudah terbukti giat memberantas (termasuk mengkritisi) praktik pungli dan suap, kendati menyangkut kolega, teman seangkatan, bahkan atasan atau institusi. (10)

— Andy Suryadi, dosen, pegiat pada Pusat Kajian Kepolisian Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Semarang (Unnes)

Sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/08/26/271371/Memutus-Rantai-Pungli-di-Polri

26 Agustus 2014 Posted by | ARTIKEL | Tinggalkan komentar

Membidik Korupsi Migas

SUARA MERDEKA – Selasa, 26 Agustus 2014

Oleh : Hifdzil Alim

GALAILA Karen Agustiawan menyatakan mundur dari kursinya sebagai Direktur Utama PT Pertamina, perusahaan negara yang mengurus soal minyak, gas, serta energi baru dan terbarukan, menjelang transisi pemerintahan. Meski alot pada awalnya, akhirnya perusahaan minyak negara menyetujui rencana resign perempuan kelahiran Bandung, 19 Oktober 1958 itu. Dari laman resmi perusahaan diketahui, Karen mengajukan surat pengunduran diri sejak 13 Agustus 2014. Akhirnya, rapat umum pemegang saham mempersilakannya untuk tak lagi memegang posisi dirut terhitung mulai 1 Oktober 2014. Perusahaan juga menyampaikan alasan pengunduran diri itu lebih bersifat pribadi dan demi regenerasi kepemimpinan pada korporasi yang berdiri 10 Desember 1957. Namun, beberapa sumber mengungkap bahwa keputusan Karen tak melulu didasarkan sikap pribadi dan regenerasi kepemimpinan, tapi soal eksistensi tekanan politik dalam pengelolaan minyak dan gas. Hal itu dinilai rasional mengingat prestasi Karen dalam mengatur dan merawat cukup menyakinkan. Contoh, dia berhasil mengakuisisi aset Conoco Phillips di Aljazair dan membeli ladang minyak ExxonMobil di Irak. Kemudian, pendapatan fiskal Pertamina naik dalam setahun belakangan. Total pendapatan pada 2013 sebesar 71,1 miliar dolar AS dari sebelumnya 70,9 miliar dolar pada 2012. Laba bersih perusahaan tercatat mengalami kenaikan sekitar 11% dari 2,77 miliar dolar AS pada 2012 menjadi 3,07 miliar dolar pada 2013. Bagaimana pencapaian yang gemilang tersebut bisa menuntun dia pada pilihan keluar dari perusahaan?

Dengan melihat peningkatan pendapatan tersebut, wajar masyarakat mengira ada yang tak beres di internal Pertamina. Kejahatan dan korupsi di sektor minyak dan gas sebenarnya telah lama diendus. Dari obrolan di Seputar Ibu Kota misalnya, ada fenomena ìminyak kencingî dalam pendistribusiannya. Jalur penyaluran minyak dari Jawa ke Kalimantan telah dikuasai oleh sejumlah cukong tertentu. Akibatnya, jumlah liter minyak yang dikirim mengalami penyusutan ketika sudah sampai di daerah tujuan. Walau ada topik demikian, sampai sekarang fenomena minyak kencing sangat susah dibuktikan. Boleh jadi, para cukong itulah yang ingin dilawan oleh Karen. Dari obrolan juga diperoleh berita kalau para cukong telah menjalin kerja sama lancung dengan para pengambil kebijakan negara dan kekuatan politik yang ada di parlemen. Tujuan kongkalikong itu adalah untuk mengamankan ”pengelolaan” dan penyaluran minyak. Ada monopoli yang dibangun di luar ketentuan peraturan perundang- undangan. Dan kekuatan besar — yang dalam ”Tajuk Rencana” harian ini (20/8/14) disebut sebagai kekuasaan metapolitik— diduga membekinginya. Integritas Perusahaan Sikap Karen yang kukuh ingin menegakkan peraturan dan menjaga integritas perusahaan pernah dia paparkan ke publik tatkala menolak keras permintaan tunjangan hari raya (THR) dari anggota Komisi VII DPR. Bahkan dia tegaskan, tidak akan membiarkan badan usaha milik negara dijadikan sapi perah oleh siapa pun.

Karena hal itulah, ancaman pemecatan terhadapnya datang bertubi-tubi (SM, 28/1/14). Jangan-jangan, sekarang ini ancaman tersebut menuju terbukti. Andai para cukong yang ”bekerja sama” dengan kekuatan metapolitik benar-benar membuktikan ancamannya, seharusnya negara tak bisa hanya tinggal diam dan berpangku tangan. Negara harus bergerak melawannya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai memberi perhatian pada indikasi keberadaan jaringan korupsi di sektor energi dan sumber daya mineral. Kasus korupsi yang menjerat Rudi Rubiandini, mantan kepala SKK Migas yang menerima suap dari Simon Sanjaya, petinggi Kernel Oil Private Limited, adalah awal yang baik untuk membidik korupsi di bagian minyak dan gas. Sudah ada preseden bahwa pelaku korupsi di sektor minyak dan gas ternyata bisa ditangkap. Artinya, kekuatan metapolitik dan konglomerasi dalam sektor tersebut sebenarnya bisa dilawan. Lembaga antirasuah membuktikan hal itu.

Faktanya, saat ini sejumlah petinggi partai yang disangka menjadi pemeras SKK Migas mulai diperiksa. Sementara itu, satu menteri berkaitan dengan kasus tersebut juga sedang diselidiki secara serius. Ini yang harus ditiru oleh negara. Terakhir, pengunduran Karen harus mampu menjadi momentum untuk menegakkan integritas Pertamina sekaligus sebagai bentuk komitmen untuk tidak memberi ruang bagi konglomerasi dan kekuatan metapolitik busuk dalam pengelolaan dan pendistribusian minyak dan gas. Lagi pula, sesuai dengan amanat UUD 1945, minyak dan gas hanya ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tentu, negara harus mewujudkan perintah tersebut. (10)

— Hifdzil Alim SH MH, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Ketua Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU DIY

Sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/08/26/271372/Membidik-Korupsi-Migas

26 Agustus 2014 Posted by | ARTIKEL | Tinggalkan komentar

Para Pahlawan Antikorupsi

SUARA MERDEKA – Sabtu, 16 Agustus 2014

TAJUK RENCANA

Sejak edisi Kamis lalu hingga hari ini, Suara Merdeka menyajikan kisah-kisah kepahlawanan dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Dalam berbagai bidang dan medan, mereka mendedikasikan pikiran, sikap, tenaga, dan hidup untuk sebuah cita-cita bernama kemerdekaan. Perjuangan itu terkristal sebagai elan tentang impian bangsa dan negara yang berdaulat, sehat, dan berkesejahteraan. Dan, 69 tahun sudah cita-cita tentang kemerdekaan itu tercapai.

Perjalanan merdeka selama hampir tujuh dasawarsa itu kini melewati momentum pergantian kepe­mimpinan nasional. Walaupun masih dalam proses persidangan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, Indonesia menyongsong presidennya yang ketujuh, produk pilihan langsung rakyat sebagai berkah demokrasi yang ditempuh bangsa ini sejak masa reformasi. Kita bersama-sama menyambut pemimpin baru untuk sebuah harapan baru.

Kesengkarutan kehidupan ber­bangsa dan bernegara, terutama 15 tahun terakhir ini, memusat pada kedaruratan kejahatan korupsi sebagai penyakit yang menjadi-jadi. Para elite dari lembaga-lembaga yang seharusnya berada di garda depan perang melawan penyalahgunaan kekuasaan itu, justru masuk dalam pusaran sistemik. Hasil survei sejumlah lembaga pemantau korupsi secara periodik memaparkan wajah buram legislatif dan institusi hukum.

Secara ekstrem bisa kita katakan, korupsi menjadi faktor utama penghambat bangsa ini dalam mengisi kemerdekaan. Satjipto Rahardjo (alm), Guru Besar Emeritus Uni­versitas Diponegoro pernah menegaskan, korupsi merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita kemer­dekaan yang termuat dalam Pem­bukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kesimpulan Prof Tjip seharusnya meniupkan sikap progresif dalam kampanye melawan kejahatan luar biasa tersebut.

Maka kita menyambut kiprah para aktivis antikorupsi dari lembaga-lembaga yang kredibel seperti Transparency International (TI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi Penyelidikan dan Pembe­rantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepo­tisme (KP2KKN), juga para pejuang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk menyebut sebagian di antara mereka yang mendedikasikan sebagian hidupnya untuk membudayakan sikap antikorupsi.

Para anak bangsa dari berbagai profesi dan bidang kehidupan telah memainkan peran untuk mengisi kemerdekaan. Pada momentum HUT Ke-69 RI Minggu besok, tidak berlebihan jika para pejuang sunyi di medan perang melawan korupsi kita beri respek, motivasi, dan dorongan yang makin kuat. Mereka melawan kultur dalam struktur dan sistem yang tergerogoti, mereka juga terus bergerak untuk membuka ruang menuju kesejahteraan rakyat.

Sumber : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/08/16/270431

16 Agustus 2014 Posted by | ARTIKEL | Tinggalkan komentar

Pidana Kejahatan Korporasi

SUARA MERDEKA – Selasa, 22 Juli 2014

  • Oleh Widyopramono

TAK bisa dimungkiri korupsi di Indonesia sudah menjadi persoalan bangsa, bahkan sampai pada titik nadir yang memprihatinkan. Jajak pendapat Kompas yang dilansir pada 2 Desember 2013 menyebutkan hampir semua (94%) responden menyatakan perilaku korupsi, khususnya di tingkat elite, sudah amat parah. Korupsi bukan saja bertransformasi menjadi kejahatan profesional melainkan juga telah melahirkan generasi koruptor. Di sisi lain, upaya pemberantasan masih fokus pada penghukuman pelaku orang per orang. Padahal berdasarkan pengalaman penulis, kerap ada keterkaitan antara pelaku individu dan korporasi sebagai tempat terjadinya kejahatan korupsi.

”Kegamangan” terhadap fenomena itu telah lama diungkapkan Edwin H Sutherland berkait sedikitnya data statistik kriminal.’ Dikatakan, tak lebih dari 2% yang mencatat kejahatan oleh kelas atas, termasuk kejahatan oleh korporasi. Sedikitnya perhatian aparat penegak hukum terhadap kejahatan korporasi tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan. Padahal kerugian masyarakat akibat kejahatan korporasi dalam bentuk price fixing, pencemaran udara, tanah, dan air, serta kejahatan perpajakan dan penyuapan diperkirakan 200 miliar dolar AS setahun. Sementara cost of crime dari tindak pidana konvensional ”hanya” 10 miliar dolar AS setahun atau 1/20 dari kejahatan korporasi. Belum lagi soal terkurasnya sumber daya alam, sumber daya sosial, dan modal kelembagaan mengingat kejahatan korporasi telah menggerogoti fungsi dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan pejabat publik.

Penulis mengapresiasi kegiatan 4th Indonesia Anti Corruption Forum, yang digagas United Nations Office on Drugs and Crime (UN ODC). Pasalnya kegiatan itu antara lain bertujuan menggalang dukungan publik dalam upaya bersama masyarakat mencegah korupsi. Berkait praktik penegakan hukum terhadap korporasi, sejak 2010 hingga 2013 aparat penegak hukum (kejaksaan, KPK dan Polri) telah menangani 7.651 perkara tindak pidana korupsi (TPK). Khusus kejaksaan se- Indonesia, dalam 5 tahun terakhir (2009- 2013) telah menyidik 8.628 perkara dan mengajukan penuntutan 8.022 perkara. Namun intensitas dan tindakan masif penegak hukum dalam pemberantasan korupsi tidak diimbangi praktik penanganan perkara terhadap korporasi. Padahal kejahatan korporasi berisiko menimbulkan dampak luar biasa. Terlebih bila berkolaborasi dan berkolusi dengan kekuasaan pemerintahan negara. ”Sinergitas” itu bahkan memunculkan jenis kejahatan baru dalam bentuk state capture, yang merusak sendi sendi pemerintahan negara demokratis. Salah satu penyebab sedikitnya praktik penegakan hukum terhadap korporasi dikarenakan persoalan legislasi, khususnya terkait penempatan korporasi sebagai subjek hukum berikut pertanggungjawaban pidananya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini subjek hukum masih tertuju pada manusia alamiah (naturlijke persoon). Menunjuk Korporasi Hal itu tercermin dari penggunaan unsur ”barang siapa” dalam berbagai rumusan delik dalam KUHP, jadi tertuju pada subjek hukum manusia alamiah atau orang perseorangan.

Rumusan Pasal 59 KUHP misalnya, tidak mengenal subjek hukum korporasi. Akibatnya, ketika terjadi kejahatan yang berkait badan hukum atau korporasi maka ”hanya” orang perorangan dari korporasi itulah yang dimintai pertanggungjawaban pidananya. Tak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum dalam KUHP, merupakan pengaruh dari doktrin societas delinquere non potest. Doktrin itu menganggap korporasi tidak mungkin melakukan kesalahan semisal dalam kejahatan pemerkosaan, pencabulan ataupun jenis kejahatan konvensional lain. Paradigma yang hanya menjadikan orang perseorangan sebagai subjek hukum pidana terasa mengusik rasa keadilan. Karena itu, secara yuridis harus dikonstruksikan dengan menunjuk korporasi sebagai subjek hukum. Upaya itu untuk memudahkan menentukan pihak yang bertanggung jawab terhadap perbuatan dari mereka, yang terhimpun dalam suatu badan hukum.

Upaya mengeliminasi pengaruh doktrin societas delinquere non potest telah dilakukan lewat berbagai perundang-undangan di luar KUHP. Perundang-undangan di bidang administrasi atau perundang-undangan teknis lainnya telah mengatur tentang subjek hukum korporasi berikut pertanggungjawaban pidananya. Menurut pengamatan Muladi dan Diah Sulistyani, setidak-tidaknya ada 62 perundang- undangan di Indonesia yang mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi. Begitu pula penelitian Hasbullah F Sjawie sejak Maret 1996 hingga Desember 2009 menyebutkan ada 71 perundang-undangan di bidang administrasi yang mengakomodasi korporasi. Hanya saja sebagian masih terbatas pada pencantuman istilah dan pengertian korporasi. Praktik penyidikan, penuntutan dan pembubaran korporasi merupakan tindakan aparat kejaksaan dalam meminta ”pertanggungjawaban” korporasi. Publik bisa mencatat poin penting, yakni penyidikan, penuntutan, dan pembubaran korporasi telah diakui dalam berbagai teori hukum sebagai doktrin, ataupun dalam perundang- undangan sebagai hukum positif. Selain itu, upaya tersebut telah diakui dalam praktik peradilan sebagai suatu yurisprudensi. Ke depan perlu menyamakan persepsi antaraparat penegak hukum terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi. Komitmen dan kesungguhan antar penegak hukum merupakan modal utama untuk mewujudkan tegaknya hukum dan keadilan. (10)

— Dr Widyopramono, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejakgung

Sumber : Suara Merdeka

23 Juli 2014 Posted by | ARTIKEL | Tinggalkan komentar