KP2KKN JAWA TENGAH

DEMI ANAK CUCU BERANTAS KORUPSI SEKARANG JUGA

Korupsi dan Sektor Swasta


Oleh : Teten Masduki

Penawaran suap dari pelaku bisnis dan korupsi di sektor swasta adalah fenomena global saat ini. Global Corruption Report Tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Transparency International secara khusus menyorot korupsi dan sektor swasta yang disebutkan memainkan peranan sentral sebagai sumber utama transaksi korupsi di antara pegawai negeri, pejabat pemerintah dan anggota partai politik. Krisis fi nansial yang melanda ekonomi dunia pada 2008, memperlihatkan faktor sisi penawaran korupsi dari bisnis menjadi masalah besar saat ini.

Fakta yang disampaikan sangat mencengangkan. Dari 2.700 lebih eksekutif bisnis yang disurvei di 26 negara, ditemukan 2 dari 5 pejabat eksekutif bisnis mengakui pernah diminta melakukan suap ketika berhubungan dengan lembaga publik. Dan 60 persen eksekutif bisnis di Mesir, India, Indonesia, Maroko, Nigeria, dan Pakistan mengaku harus melakukan suap ketika berhubungan dengan lembaga publik (Bribe Payer Index, 2008).

Nilai transaksi suap juga bukan angka yang sedikit. Di negara berkembang disebutkan politisi dan pejabat pemerintah menerima suap antara US$ 20-40 miliar setiap tahunnya, setara dengan sekitar 20-40 persen bantuan pembangunan (Bribe Prayer Index, 2008). Dan 50 persen manajer bisnis memperkirakan bahwa korupsi menambah biaya proyek sedikitnya 10 persen, dan dalam beberapa kasus lebih dari 25 persen. Satu dari lima dari mereka mengakui dikalahkan oleh pesaing yang melakukan suap (Control Risks and Simmons & Simmons, 2007).

Di Indonesia suap setidaknya ada tiga hal, yaitu secara aktif diminta, diminta dengan pemerasan, ditawarkan secara proaktif oleh pebisnis, dan ketiga bentuk itu sangat ditentukan oleh sejauh mana relasi kekuasaan antara pemerintah dan bisnis. Dalam survei Indeks Suap (2009) di 50 kota di Indonesia yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia, mengaku juga biasa mendapat tawaran suap (45 persen) dari kalangan bisnis.

Survei menyebutkan dalam prakteknya ini jauh lebih rumit dari sekadar suap dalam bentuk transaksi kotor yang terputus. Hampir 50 persen pejabat eksekutif dari negara-negara OECD mengakui hubungan pribadi dan hubungan dekat (nepotisme) sering digunakan untuk memenangkan kontrak publik di negara-negara yang bukan anggota OECD (TI, 2008).

Karena itu, penyuapan pejabat asing dalam transaksi bisnis internasional adalah fenomena dunia yang perlu mendapat perhatian serius, terutama di negara-negara berkembang yang tingkat korupsinya sangat tinggi seperti di Indonesia, karena pengaruhnya yang luar biasa ke dalam jantung perekonomian negara- negara tersebut. Indonesia punya pengalaman nyata yang sangat panjang bagaimana transaksi bisnis yang kotor baik dengan perusahaan asing maupun dengan perusahaan nasional dalam pengelolaan sumber daya alam, impor komoditas pangan atau mega kontrak pemerintah dalam pembangunan infrastruktur selain membebani anggaran publik juga membangun kleptokrasi yang bisa berkuasa cukup lama.

Patronase rezim pemerintahan otoriter dan perusahaan multinasional atau konglomerasi nasional menjadi semacam simbiose yang saling menguntungkan. Ia berkontribusi mempertahankan birokrasi, partai politik, dan pemerintahan yang korup. Pelaku bisnis yang kuat dapat mengendalikan kebijakan publik dan pemerintahan sehingga menghalangi terciptanya keputusan yang demokratis. Dalam hal ini sebenarnya yang terjadi adalah perampokan negara (state capture) secara sistematis, dimana perusahaan melakukan pembayaran pada pejabat publik untuk mempengaruhi pilihan dan desain hukum, aturan dan kebijakan publik.

Secara masif masalah ini dengan sangat vulgar diperlihatkan pada era pemerintahan otoriter di bawah rezim Orde Baru (dan secara samar berlangsung sampai sekarang) yang menyabot hampir semua sumbersumber ekonomi negara penting, antara lain dalam bentuk kredit subsidi, penghindaran pajak, kredit investasi, subsidi, pinjaman bersubsidi pinjaman swasta dengan jaminan anggaran pemerintah. Krisis fi nansial dan skandal kebijakan BLBI pada 1998 yang sampai sekarang membebani APBN adalah contoh ekstrim fenomena state capture yang paling menyakitkan masyarakat.

Masyarakat biasa adalah korban utama dari transaksi bisnis internasional yang kotor. Sekadar contoh, di sini penggunaan zat aditif terlarang karena merugikan kesehatan lingkungan untuk produk premium oleh Pertamina dalam kasus Innospec yang penyuapnya sudah diadili di Inggris dan AS, tapi di sini pejabat Pertamina penerima suapnya sampai sekarang tidak tersentuh hukum. Hal yang sama skandal impor tabung gas rongsokan dari luar negeri dalam proyek Langit Biru telah banyak membawa korban jiwa. Rakyat juga harus membayar mahal produk-produk farmasi, misalnya, dari praktek kartel yang punya koneksi kuat terhadap otoritas kesehatan dan perdagangan dalam penetapan harga dan skema kolusi lainya.

Anehnya di Indonesia, praktek suap dilakukan oleh pelaku bisnis di tengah pengetahuan mereka tentang undang-undang pemberantasan korupsi jauh lebih baik. Hasil survei TII pada 2008, menyebutkan 90 persen pebisnis paham tentang undangundang pemberantasan korupsi. Sementara hampir 77 persen dari 2.700 pejabat eksekutif, investor dan eksportir besar di Prancis, Inggris, Jerman dan AS tidak mengetahui Konvensi OECD tentang Pemberantasan Suap terhadap Pejabat Publik terlibat dalam Transaksi Bisnis International (TI, 2008).

Tapi belakangan upaya untuk mengurangi suap dari kalangan bisnis sedang mendapat perhatian global, termasuk korupsi dalam tubuh perusahaan swasta itu sendiri. Sejak demokratisasi yang meluas hampir di seluruh pelosok dunia, bentukbentuk transaksi bisnis kotor yang dilakukan perusahaan multinasional dengan rezim-rezim otoriter di negara-negara berkembang sebagai komprador mereka sudah memasuki babak akhir. Kini dengan tuntutan transaksi bisnis yang kompetitif dan bersih, agenda pemberantasan korupsi mendunia, termasuk peran dunia bisnis di dalamnya. Meskipun harus diakui tatanan ekonomi global, dan pasar yang dinamis terus melahirkan berbagai peluang korupsi.

Meniru AS yang sudah lama memiliki Foreign Practice Corruption Act (FPCA), pemerintah Inggris dalam upaya untuk meningkatkan standar kepatuhan perusahaan jika tidak ada penundaan lagi pada 1 Juli 2011 akan memberlakukan undang-undang Tindak Pidana Penyuapan (UK Bribery Act) yang proses legislasinya memakan waktu 12 tahun. UU ini mengatur tentang tindakan kriminal penyuapan pejabat publik negara lain (foreign public offi cials bribery), tindakan kriminal organisasi komersial yang tidak dapat mencegah terjadinya penyuapan. Perusahaan Inggris yang beroperasi di luar negeri seperti Indonesia harus mematuhi UU ini, sehingga praktek “facilitation payment” yang sebelumnya biasa dilakukan,
menjadi ilegal.

Memerangi suap dalam transaksi bisnis internasional memerlukan kerangka kerja internasional dan nasional sekaligus, dan kerja sama internasional yang betul-betul bisa bekerja dengan baik, untuk mengadili penyuap dan penerima suap, serta menarik kembali aset yang sudah dilarikan para koruptor ke luar negeri. Dalam konteks ini, semestinya setiap negara yang telah meratifi kasi UNCAC, seperti Indonesia, wajib mengadopsi tindakan legislatif untuk mencegah, sistem penegakan hukumnya untuk membasmi penyuapan pejabat asing dalam bisnis internasional.

Penguatan sistem hukum yang terkait, seperti perlindungan saksi dengan sendirinya akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi kerja-kerja jurnalistik atau lembaga watchdog dalam upaya membantu aparat hukum mengungkap transaksi suap yang biasanya dilakukan di “ruang remang-remang”. Dan yang terpenting adalah membersihkan aparat hukum yang kotor sebagai bagian dari reformasi hukum, karena aturan yang baik tidak ada gunanya di tangan aparat yang kotor.

Penegakan aturan dana partai politik mutlak harus dilakukan, terutama pengaturan dana kampanye karena sistem pemilu di Indonesia yang berbasis pada kandidat. Seperti kata Ackerman (2000) korupsi politik sulit dibasmi jika politisi menerima sumbangan kampanye yang ilegal dan menggunakan dana itu untuk menyogok pemilih (Rose-Ackerman, 2000).

Tentu saja secara bersamaan dunia bisnis juga harus mencari strategi lobi politik atau CSR baru yang saat ini sulit dibedakan dengan tindakan suap. Suap yang mempengaruhi persaingan bisnis tidak akan berhenti bila tidak ada komitmen dari dunia bisnis sendiri untuk berhenti secara serempak.

Tidak kalah pentingnya sistem pencegahan korupsi di dalam sektor swasta itu sendiri, sejak banyak skandal bisnis yang mengguncang perekonomian dunia. Kita tahu selama ini telah lazim praktek kotor di dalam binsis antara pembuatan catatancatatan di luar pembukuan (off books account) mencatat pengeluaran yang tidak ada, membuat catatan tentang kewajiban kewajiban fi nansial yang tidak benar, penggunaan dokumendokumen palsu, pemusnahan secara sengaja dokumen-dokumen pembukuan dan sebagainya. Dalam banyak kasus kebangkrutan perbankan di Indonesia, dan yang terakhir kasus Bank Century, misalnya. Negara akibatnya harus menanggung kebobrokan manajemen. Dalam skala bisnis tertentu yang pengaruhnya besar terhadap perekonomian nasional, mau tidak mau, pemerintah sepertinya menjadi tawanan dunia bisnis.

Sistem transaksi keuangan noncash semestinya juga diberlakukan oleh BI dan Pemerintah, baik dalam transaksi keuangan antara lembaga pemerintah, lembaga pemerintah dengan swasta, atau swasta ke swasta. Karena realitasnya dalam beberapa kasus transaksi suap yang berhasil ditangkap KPK senantiasa menggunakan uang tunai. Mungkin sambil menunggu kesiapan masyarakat sektor informal, penerapan aturan ini bisa dilakukan secara gradual. Sistem transaksi non tunai ini bukan saja akan memudahkan bekerjanya menjejaki transaski suap atau pencucian uang, tapi juga akan berdampak positif bagi pemasukan dari sektor pajak. Barangkali , nanti daftar konglomerat Indonesia kaya versi majalah Forbes, bisa dibaca juga dalam pembayar pajak tertinggi di negeri ini.�

14 Mei 2011 - Posted by | BERITA KORUPSI NASIONAL

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar